1. Home
  2. /
  3. POSTING
  4. /
  5. VAKSIN DPT (DIFTERI PERTUSIS...
  6. /
  7. Menyelisik Hubungan Kejang dan...
Hubungan Kejang dan Vaksin DPT1

Hubungan Kejang dan Vaksin DPT

 

 

Mendengar mengenai kejang biasanya akan terbayang hal seram, sehingga tidak sedikit orang-orang mungkin terkadang enggan bertanya mengenai hubungan kejang dan vaksin DPT. Kejang memang merupakan momok yang menakutkan untuk semua orang, terutama orang tua. Disinilah pentingnya kita kupas tuntas mengenai hal ini. Tentunya, ini menimbulkan pertanyaan, benarkah vaksin DPT bisa menyebabkan kejang pada anak? Apakah sesering itu kejang muncul pada anak setelah vaksin atau imunisasi DPT? Perlukah kita khawatir?

Artikel terkait : BEDA VAKSIN PENTABIO INFANRIX PEDIACEL

Sebelum menelaah lebih lanjut mengenai hubungan kejang dan vaksin DPT, ada baiknya kita mengetahui berbagai macam efek samping atau yang dikenal juga dengan istilah KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), dari vaksin DPT ini. Vaksin DPT, atau varian lainnya yaitu Tdap (Tetanus, difteri aseluler, dan pertussis), memiliki KIPI yang beragam. CDC (Center for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat, melaporkan data berbagai jenis KIPI yang dapat muncul pada pemberian DPT/Tdap beserta frekuensi kejadiannya. Reaksi KIPI yang paling ringan dan terbilang umum terjadi adalah demam (muncul pada 1 dari 4 anak), reaksi peradangan (seperti nyeri, bengkak, dan kemerahan) pada lokasi penyuntikan (muncul pada 1 dari 4 anak), hilang nafsu makan atau lemas (1 dari 10 anak), dan mual muntah (1 dari 50 anak).2 Umumnya reaksi ini berlangsung beberapa hari saja, bersifat ringan dan dapat segera pulih. Selain reaksi KIPI ringan diatas, terdapat beberapa reaksi KIPI lain yang mungkin muncul pada anak setelah vaksinasi, akan tetapi kemunculannya sangatlah jarang. Beberapa contoh dari reaksi KIPI derajat sedang dan berat ini termasuk menangis menjerit terus menerus (minimal 3 jam tanpa berhenti, muncul pada 1 dari 1.000 anak), demam tinggi diatas 400C (1 dari 16.000 anak), atau bahkan risiko reaksi alergi setelah pemberian vaksin (1 dari 1 juta anak).

            Bagaimana dengan kejang? Menurut CDC dan juga didukung oleh tulisan  dari Prof Sri Rezeki S. Hadinegoro SpA (K), salah satu pakar ilmu kesehatan anak di Indonesia, kejang juga termasuk kedalam kemungkinan KIPI yang bisa saja muncul setelah pemberian vaksin DPT.2,3 Masih dari CDC, kejang dapat terjadi pada 1 dari setiap 14.000 anak. Kejang yang dimaksud disini termasuk kejang dimana sang anak mengalami kaku atau jerking dari ekstremitas tubuh, atau juga bisa muncul dalam bentuk anak diam untuk beberapa saat . Data lain dari hasil penelitian dr. William Barlow dan timnya pada tahun 2001 mendapatkan bahwa risiko kejang pada anak setelah pemberian vaksin DPT yang mengandung whole cell pertussis adalah 6-9 anak dari tiap 100.000 anak yang diberikan vaksinasi.4 Dengan kata lain, meskipun relatif jarang ditemukan, kita tetap perlu waspada akan kemunculan kejang ini. 

            Data diatas adalah data untuk vaksin DPT. Bagaimana dengan jenis lain dari vaksin ini, Tdap? Berbeda dengan DPT, bukti ilmiah bahwa Tdap menyebabkan kejang pada anak lebih kontroversial. WHO (World Health Organization) sebagai badan kesehatan dunia menyebutkan bahwa meskipun lebih rendah dibandingkan DPT, tetap ada risiko kejang terjadi pada anak setelah pemberian vaksin Tdap. Menurut studi yang mereka jadikan acuan, terdapat risiko kemunculan kejang pada setiap 1 dari 200.000 dosis vaksin Tdap.5 Hasil berbeda ditemukan oleh beberapa grup lain. Satu studi dari dr. Huang dan tim Vaccine Safety Datalink Team pada tahun 2010 menemukan bahwa dari sekitar 433 ribu anak usia 1-23 bulan yang diberikan vaksin Tdap pada kurun waktu 1997-2006 di Amerika Serikat tidak terdapat peningkatan risiko kemunculan kejang setelah pemberian vaksin Tdap.6  Hasil serupa ditemukan oleh dr. Sun dan timnya pada studi lain yang dipublikasikan tahun 2012. Seperti halnya dr. Huang, mereka tidak dapat menemukan adanya hubungan antara peningkatan kemunculan kejang pada anak dengan pemberian vaksin Tdap, yang pada studi mereka dikombinasikan dengan vaksin polio dan HiB (Haemophilus influenzae tipe B).7 Jadi, kemunculan kejang pasca vaksin Tdap hingga kini masih diperdebatkan, bahkan oleh para ahli dan peneliti di bidang ini.

            Sebenarnya apa sih yang menyebabkan kejang pada vaksin DPT? Studi dari dr. Barlow menyebutkan bahwa kejang yang umumnya muncul setelah vaksinasi adalah kejang demam. Kejang demam, sesuai dengan namanya, merujuk kepada episode kejang yang muncul pada anak yang dapat diasosisasikan dengan demam yang dialaminya.8  Demam diatas 390C akan membuat seorang anak lebih rentan mengalami kejang demam ini dan hal ini dapat saja terjadi pada pemberian vaksin, salah satunya DPT. Beberapa studi yang telah disebutkan diatas secara detail menggunakan kemunculan kejang demam sebagai tolak ukur kemunculan kejang pasca pemberian vaksin DPT. Yang perlu diketahui juga oleh kita semua adalah hingga saat ini kemunculan kejang demam sendiri, selama tidak disertai penyebab lain selain vaksinasi, tidak memiliki hubungan dengan kemunculan gangguan perkembangan neurologis maupun epilepsi (kejang berulang) di kemudian hari. Namun, adapula teori yang mengatakan bahwa komponen vaksin pertusis lah yang memiliki andil besar dalam menginduksi terjadinya reaksi saraf (neurologic reaction). Vaksin whole cell pertusis menginduksi produksi dari salah satu sel penanda inflamasi (IL-1β) di hipokampus dan hipotalamus otak. Proses ini menyebabkan menurunnya pelepasan sel penghambat neurotransmitter GABA dan adenosine di bagian hipokampus tadi. Jika sel penghambat neurotransmitter GABA dan adenosine ini menurun, maka aktivitas kejang dapat terjadi. Berbeda dengan vaksin acelluler pertusis yang tidak menginduksi produksi sel penanda inflamasi seperti sebelumnya yang mendukung hipotesis bahwa vaksin Tdap tidak berpotensi menimbulkan demam. Ini juga merupakan salah satu alasan mengapa vaksin whole cell pertusis mulai banyak ditinggalkan beberapa negera.  Vaksin yang mengandung kurang lebih 3000 protein ini lah yang digadang-gadang menjadi penyebabnya banyaknya reaksi paska imunisasi terjadi. Berbeda dengan acellular pertusis yang hanya memiliki 2 – 5 protein saja.9  Teori ini didukung pula oleh salah satu studi systematic review yang menyimpulkan bahwa vaksin whole cell pertusis didalam vaksin DPT lebih reaktogenik dibandingkan dengan vaksin acellular pertusis.10    

            Jadi, masih bolehkah kita melakukan vaksin DPT? Tentu saja boleh bahkan tetap sangat dianjurkan, karena bagaimanapun cara efektif dan ampuh mencegah penyakit Difteri, Tetanus dan Pertusis adalah dengan vaksinasi atau imunisasi. Hanya saja jangan lupa menginformasikan kepada Dokter sebelum divaksin jika pernah ada riwayat kejang dengan atau tanpa demam setelah penyuntikan vaksin sebelumnya. Kalaupun kejang terjadi, jangan panik! Jauhkan semua benda yang dapat membahayakan anak yang kejang, miringkan anak ke salah satu sisi untuk mencegah tersedak (choking), longgarkan pakaian terutama di daerah leher, hitung berapa lama kejang berlangsung. Yang paling penting adalah jangan mencoba menahan gerakan kejang dan jangan memasukkan apapun ke dalam mulut seperti sendok atau kain. Segera cari bantuan dan bawa anak secepat mungkin ke rumah sakit.11 Kejang pada vaksin DPT memang bisa saja terjadi pada siapa pun, akan tetapi jumlah kejadiannya yang cukup jarang, ditambah dengan perkembangan vaksin Tdap yang memiliki risiko kejang lebih rendah, membuat kita dapat bernafas lebih lega. Hingga saat ini tidak dapat dibantah bahwa vaksinasi tetap jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan efek sampingnya. Oleh karena itu, jangan ragu untuk memvaksinasikan anak anda!

 

Daftar Pustaka

  1. Cleveland Clinic. When your chlid’s leads to a seizure: 8 things to do + when to calal 911. Available from: https://health.clevelandclinic.org/when-your-childs-fever-leads-to-a-seizure-8-things-to-do-when-to-call-9-1-1/. Accessed [22 Dec 2018].
  2. Possible side effect from vaccine. Available from: https://www.cdc.gov/vaccines/vac-gen/side-effects.html. Accessed [22 Dec 2018]
  3. Hadinegoro SRS. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri Jun 2000. 2(1): 2-8.
  4. Barlow, WEDavis, RL Glasser, JW Rhodes, PH Thompson, RS Mullooly, JP et al. (2001). The risk of seizures after receipt of whole-cell pertussis or measles, mumps, and rubella vaccine. N Engl J Med Aug 30 2001345(9): 656–61
  5. Information sheet observed rate of vaccine reactions diphteria, pertussis, tetanus vaccine. Available from: https://www.who.int/vaccine_safety/initiative/tools/DTP_vaccine_rates_information_sheet.pdf. Accessed [22 Dec 2018]
  6. Huang WT1, Gargiullo PM, Broder KR, Weintraub ES, Iskander JK, Klein NP, Baggs JM; Vaccine Safety Datalink Team. Lack of association between acellular pertussis vaccine and seizures in early childhood. 2010 Aug;126(2):263-9.
  7. Sun Y1, Christensen J, Hviid A, Li J, Vedsted P, Olsen J, Vestergaard M. Risk of febrile seizures and epilepsy after vaccination with diphtheria, tetanus, acellular pertussis, inactivated poliovirus, and Haemophilus influenzae type B. JAMA. 2012 Feb 22;307(8):823-31
  8. CDC. Febrile seizure following childhood vaccination, including influenza vaccination. Available from: https://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine/febrile.htm. Accessed [23 Dec 2018]
  9. Patel MK, Patel TK, Tripathi CB. Diptheria, pertussis (whooping cough) and tetanus vaccine induced recurrent seizures and acute encephalophaty in a pediatric patient: possible due to pertussis fraction. Journal of Pharmacology and Pharmacotherapy. 2012 Jan – Mar; 3 (1): 71 – 73
  10. Patterson J, Kgina BM Gold M, Hussey GD, Muloiwa R. Comparison of adverse sevents following immunisatuon with acellular and whole cell pertussis vaccines: a systematic review. Available from: https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2018.08.022. Accessed [24 Dec 2018]
  11. Epilepsy Foundation. Seizure first aid. Available from: https://www.epilepsy.com/living-epilepsy/parents-and-caregivers/about-kids/seizure-first-aid. Accessed [24 Dec 2018]

Artikel terkait: DAFTAR HARGA VAKSIN / BIAYA IMUNISASI KLINIK VAKSINASI RAISHA